Memahami Hak
Beragama
dan
Kewajiban Berhijab dalam Aturan Seragam Polisi Wanita
Oleh : Hafidzah
Hanifiah
A.
Latar Belakang
Islam
adalah agama pelindung. Terkhusus bagi makhluk-Nya yang berjenis perempuan.
Dalam islam, perempuan muslimah memiliki kewajiban menutup aurat dengan
batasan-batasan tertentu, dengan menggunakan kain atau selubung yang
menutupinya atau biasa disebut dengan hijab. Dengan hijab, para perempuan
muslimah dapat lebih dikenal identitasnya sebagai Muslimah serta terjaga dari
gangguan laki-laki ajnabi yang jahil. Itulah busana terbaik yang wajib
digunakan oleh Muslimah yang telah baligh. Sebagaimana yang Allah firmankan
dalam Al-Qur’an, lantas ditegaskan pula oleh Nabi saw dalam hadisnya.
Maka
selayaknya, siapapun tidak berhak melarang perempuan Muslimah menjalankan
syari’at agama yang satu ini. Mereka, para Muslimah itu berhak melakukan
sesuatu yang sudah ditetapkan menjadi kewenangannya. Setiap makhluk, tanpa
memandang jenis, harus diberlakukan hak-hak mereka, seperti hak beragama atau
menjalankan syari’at agama secara total sebagaimana yang tercantum dalam UUD
1945.
Menyangkut hal ini, sempat terjadi benturan-benturan pendapat yang
menunda perijinan mengenakan jilbab bagi polisi wanita. Alasannya, agar polwan
bisa lebih berkompeten dalam berkerja tanpa harus mengenakan jilbab maupun
busana muslimah pada seragam mereka. Namun, jika pemerintah tidak memberikan wewenang
para polwan itu untuk menjalankan syari’at agama mereka, maka pemerintah telah
melanggar UUD 1945 pasal 29, bahkan melanggar aturan yang tercantum dalam
Al-Qur’an dan Hadis.
B.
Definisi Hijab
Hijab Sebagai kata benda, kata ini digunakan untuk empat ungkapan,
antara lain:
a.
Kain
panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala dan kadang-kadang muka
b.
Rajutan
panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita yang dipakai untuk
memperindah atau melindungi kepala dan wajah
c.
1.
Bagian utama kepala biarawati yang melingkari wajah terus kebawah sampai
menutupi bahu 2. Kehidupan atau sumpah biarawati
d.
Secarik
tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang
ada di baliknya (sebuah gorden).[1]
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang
jilbab, berikut ayatnya:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
“Hai
Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Kata “jalabib” adalah bentuk jamak dari jilbab. Kata ini
diperselisihkan maknanya oleh pakar-pakar bahasa, berikut akan dijelaskan mengenai
hal ini:
Menurut penganut pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh
wanita tanpa terkecuali adalah aurat, kata jilbab adalah pakaian yang menutupi
baju dan kerudung yang sedang dipakai, sehingga jilbab menjadi bagaikan
selimut. Dalam hal ini menurut pakar tafsir Ibn Jarir meriwayatkan bahwa
muhammad ibn sirin bertanya kepada Abidah as-Salamani tentang maksud penggalan
ayat itu lalu Abidah menjawab semacam selendang yang dipakai dan memakainya
sambil menutup seluruh kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan
menutupi wajahnya dan membuka mata kirinya untuk melihat dari arah sebelah
kirinya. Selanjutnya menurut tafsir al-Baihaqy menyebut beberapa pendapat
tentang makna hijab antara lain baju yang longgar atau kerudung penutup kepala
wanita atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya atau semua
pakaian yang menutupi badan wanita.[2]
Hijab adalah baju wanita yang berukuran panjang. Oleh ibn Mas’ud
dan orang sejalan dengan pendapatnya menyebut pakaian itu sebagai ar rida’,
mantel atau jubah. Oleh kaum awam pakaian itu disebut al-izar, yaitu
jenis busana longgar yang menutup seluruh tubuh, dari ujung kepala sampai semua
badan. Ubaidah dan sahabat lain mengatakan, bahwa jenis busana itu menjuntai
dari ujung kepala wanita sehingga tidak ada bagian tang kelihatan, kecuali
hanya bagian mata. Termasuk jenis busana penutup ini adalah kain penutup muka,
(cadar). Dengan begitu kaum wanita harus mengenakan kain penutup jenis cadar. [3]
Hijab sesuai dengan makna harfiahnya adalah pemisah, dalam pergaulan
antara laki-laki dan wanita. Tanpa adanya pemisah ini, akan sukarlah
mengendalikan luapan nafsu syahwat yang merupakan nalur yang sangat kuat dan
dominan. Sedang jiwa manusia ini betul-betul mudah goyah dan berubah.
Sebagaimana manusia tidak pernah merasa puas dengan harta dan kedudukan,
demikian juga mereka tidak pernah puas dengan kelezatan pemuasan hawa nafsu.
Laki-laki tidak akan puas memandang paras muka yang cantik dan molek. Wanita
juga tidak akan puas memamerkan kecantikannya untuk menarik perhatian lelaki.
Tak heran apabila pergaulan bebas dan propaganda seksual dibarat banyak
melahirkan derita-penderitaan penyakit jiwa.[4]
Ayat-ayat jilbab dan hijab memnag berbicara dalam konteks budaya
masyarakat setempat, yang penekanannya kepada persoalan etika, hukum, dan
keamanan masyarakat di mana ayat itu diturunkan. Seperti diketahui bahwa
ayat-ayat hijab, jilbab dan umumnya yang berbicara tentang kekhususan
perempuan, turun antara tahun ketiga dan tahun hijriyah. Tahun-tahun itu adalah
tahun kritis dalam komunitas masyarakat muslim Madinah. Baru saja terjadi
tragedi perang uhud di mana kaum muslim menderita kelelahan berarti, lalu
disusul dengan berbagai peperangan spodaris lainnya. situasi masyarakat Madinah
berada dalam situasi tidak aman karena perang yang berkepanjangan. Meskipun
demikian, tidak berarti penggunaan jilbab, cadar, atau semacamnya sudah dapat
ditinggalkan manakala situasi sudah aman. Jilbab semacamnya tetap merupakan
ajaran Islam yang perlu diindahkan, setidaknya jilbab akan menjadi ajaran etika
dan estetika (tahsiniyyah).[5]
C.
Memahami Hak Beragama
Islam telah menetapkan kelayakan kaum perempuan untuk ibadah dan
menunaikan berbagai kewajiban agama lainnya, ini dinyatakan secara jelas di
dalam Al-Qur’an dan dipertegas oleh sunnah. Kaum perempuan memiliki kelayakan
untuk menunaikan kewajiban agama, sebab syarat-syarat untuk menunaikan
kewajiban agama dipenuhi oleh perempuan. Selain itu, perempuan juga memiliki
tanggung jawab dalam menunaikan ibadah wajib dan pilihan (sunnah). Pahala dan
dosa tak terkecualikan bagi perempuan di dalam Islam, dan lagi-lagi ada banyak
nash-nash Al-Qur’an yang menyinggungnya. Bahkan status hukum perempuan dalam
hal Hudud dan Qishash juga berlaku. Oleh sebabnya, perempuan berhak memiliki
kewenangan menjalani syari’at agamanya.
Adapun hijab, termasuk hak etis bagi perempuan. Sebagian orang
mukmin mungkin bertanya-tanya bagaimana mungki hijab yang diwajibkan agama
dianggap sebagai hak etis bagi perempuan. Untuk sebagian orang hijab terlihat
sebagai penindasan dan penganiayaan. Tetapi bagi mereka yang memahami
kebijaksanaan Ilahi di balik itu, mereka akan mengerti mengapa hijab dianggap
sebagai suatu hak etis. Dlaam Islam, seorang perempuan mengenakan hijab untuk
melindungi dirinya dari sesuatu yang dapat mengancam kehormatan dan
martabatnya, disamping adanya aturan-aturan lain seperti menundukkan pandangan;
menjaga kesuian diri; menyembunyikan perhiasan, dan sebagainya.[6]
Nasarudin Umar dalam karyanya menceritakan tentang pemerintah
Prancis kian tegas memproklamirkan diri sebagai negara sekuler dan menjunjung
tinggi pluralisme, mengeluarkan larangan kepada masyarakatnya menggunakan
simbol-simbol keagamaan–seperti jilbab bagi orang Islam dan peci bagi orang
Yahudi–di tempat-tempat umum. Kebijakan ini diambil untuk menghindari konflik
horisontal yang mengkhawatirkan akan terjadi akibat perbedaan simbol-simbol
keagamaan yang dipertontonkan. Bahkan pemerintah tiak segan-segan mengeluarkan
siswa dari sekolah jika tetap menggunakan jilbab. Tindakan itu tentu memancing
reaksi keras dari agamawan. Peci dan jilbab bagi kedua agama tersebut tidak
hanya sekedar pakaian, tapi bentuk kepatuhan mereka dalam menjalankan perintah
ajaran agama.[7]
Salah satu yang menyebabkan lumpuhnya kekuatan perempuan dan yang
memenjarakan bakat-bakatnya adalah tiadanya hijab. Dalam islam, hijab tidak
mencegah perempuan untuk berpastisipasi dalam aktivitas-aktivitas kebudayaan,
sosial atau ekonomi. Islam tidak pernah mengatakan bahwa perempuan tidak boleh
meninggalkan rumahnya, dan tidak juga pernah mengatakan bahwa ia tidak boleh
mencari ilmu dan belajar, tidak ada larangan terhadap kegiatan yang bersifat
ekonomi, dan bersosialisasi.[8]
Justru, yang melumpuhkan daya kerja adalah rusaknya moral perepuan ketika
pergaulan bebas menjadi sebuah tabiat, dan aurat dengan bangganya
dipertontonkan kepada siapa saja.
D.
Tafsir Ayat-ayat Hijab
v Skema Ayat[9] :
NO
|
NTN
|
SURAT
|
AYAT
|
PENGGALAN
AYAT
|
KET
|
1
|
39
|
AL-A’RAF
|
26
|
ûÓÍ_t6»t tPy#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ...
|
MK
|
2
|
90
|
AL-AHZAB
|
59
|
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur ...
|
MD
|
3
|
103
|
AN-NUR
|
31
|
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ...
|
MD
|
v Tafsir Surat Al-A’raf: 26
ûÓÍ_t6»t tPy#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqã öNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)G9$# y7Ï9ºs ×öyz 4 Ï9ºs ô`ÏB ÏM»t#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbrã©.¤t ÇËÏÈ
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. dan pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu
ingat.”
Pada ayat ini Allah SWT menyeru kepada anak cucu Adam dan
memperingatkan nikmat yang begitu banyak yang telah dianugrahkan-Nya supaya
mereka tidak melakukan maksiat, tetapi hendaklah mereka bertaqwa kepada-Ny, di
mana mereka berada, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw. Dialah yang
menurunkan hujan dari langit, menyebabkan adanya kapas, rami, wool, dan
sebagainya yang kesemuanya itu dapat dijadikan bahan pakaian seusah diolah
untuk dipakai menutupi aurat kita.[10]
v Tafsir Surat Al-Ahzab: 59
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# úüÏRôã £`Íkön=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºs #oT÷r& br& z`øùt÷èã xsù tûøïs÷sã 3 c%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÎÒÈ
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Allah memerintahkan Nabi-Nya supaya seluruh kaum muslimat terutama
sitri-istri Nabi sendiri dan putra-putrinya agar mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka. Jilbab itu ialah jenis baju kurung yang lapang, yang
dapat menutupi kepala, muka dan dada. Yang demikian itu supaya mereka mudah
dikenal dengan pakaiannya, karena pakaiannya berbeda dengan jariyah-jariyah
(budak-budak wanita), agar mereka tidak diganggu oleh orang yang
menyalahgunakan kesempatan. Seorang perempuan yang berpakaian rapi dan sopan
aka lebih mudah terhindar dari gangguan orang-orang yang jahil, dan
perempuan-perempuan yang membuka auratnya di muka umum mudah dituduh atau
dinilai sebagai wanita yang kurang baik kepribadiannya dan bagi orang di masa
lampau yang kurang hati-hati tentang menutupi auratnya, lalu mengadakan
perbaikan, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Oleh karena perbuatan
yang menyakiti itu seringkali dilakukan oleh orang-orang munafik.[11]
v Tafsir An-Nur: 31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Ayat di atas turun di Madinah, pada ayat ini Allah SWT menyuruh
Rasul-Nya untuk memperingatkan untuk wanita-wanita yang beriman supaya mereka
itu jangan melihat yang tidak halal bagi mereka melihatnya seperti aurat
laki-laki maupun perempuan yaitu antara pusar dan lutut bagi sesama laki-laki
atau sesama perempuan. Tetapi hendaklah mereka membatasi penglihatan mereka
dari laki-laki yang bukan mahramnya. Karena yang demikian itu adalah lebih baik
dan lebih aman.
Di dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ketika
Ummu Salamah dan Maimunah berada di sisi Rasulullah saw maka datanglah Abdullah
bin Ummi Maktum dan masuk ke dalam rumah Rusulullah saw, pada waktu itu sudah
ada perintah hijab. Rasulullah saw memerintahkan kepada Ummu Salamah dan
Maimunah berlindung (berhijab) dari Abdullah bin Ummi Maktum. Berkata Ummu
Salamah, “Wahai Rasulullah! Bukankah ia itu buta, tidak melihat kami dan
tidak mengenal kami?” Rasulullah saw menjawab: “Apaakah engkau berdua
buta? Apakah engkau berdua tidak meliaht dia?”
Juga hendaklah wanita-wanita itu menjaga kemaluan mereka jangan
sampai berxina atau terlihat oleh orang lain. Dan janganlah wanita-wanita itu
menampakkan perhiasan mereka kepada orang lain kecuali yang tidak dapat
disembunyikan menurut adat-istiadat mereka seperti cincin, celak, inai, dan
sebagainya. Berbeda dengan gelang tangan, gelang kaki, kalung, mahkota,
selempang, anting-anting kesemuanya itu dilarang menampakkan karena terletak di
anggota tubuh yang termasuk aurat wanita seperti lengan, betis, leher, kepala,
dada dan telinga. Semuanya itu tidak halal dilihat melainkan oleh orang-orang
yang dikecualikan menutur sebagaimana ayat di atas. Dan hendaklah ditutup kain
kerudung hingga ke dada. Jangan ke belakang saja seperti halnya wanita-wanita
di jaman jahiliyyah yang mana kepala mereka di tutup tetapi leher dan dada
mereka terlihat.[12]
Adapun yang diperbolehkan melihat perhiasan perempuan yang berimana
ialah :
1.
Suami
mereka;
2.
Ayah
mereka;
3.
Ayah suami mereka (Bapak mertua);
4.
Putra-putra
mereka (anak laki-laki);
5.
Putra-putra
suami mereka (anak laki-laki);
6.
Saudara-saudara
mereka (kakak/ adik laki-laki);
7.
Putra-putra
saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki);
8.
Putra-putra
saudara perempuan mereka (keponakan laki-laki);
9.
Perempuan-perempuan
Islam;
10.
Budak-budak
yang mereka miliki;
11.
Laki-laki
yang tua dan tidak lagi memiliki nafsu syahwat;
12.
Anak
laki-laki yang belum mengerti tentang aurat perempuan.
E.
Analisis Terhadap SK Kapolri Tentang Jilbab Bagi Polisi Wanita
Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti telah menandatangani
aturan tentang jilbab Polisi Wanita yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri
Nomor: Kep/245/II/2015 tanggal 25 Maret 2015 tentang perubahan dari Skep
Kapolri No.POL:Skep/702/IX/2005.
Sebelumnya, Skep/702/IX/2015 tanggal 30 September 2005 yang mengatur
soal berjilbab hanya berlaku di Polda Aceh. Berikut isi gubahan Perkap
Nomor:Kep/245/II/2005 tanggal 25 Maret 2015.
A.
Pengguna
Semula tertulis: Polwan khusus Aceh menggunakan jilbab.
Diubah menjadi: Bagi Polwan Aceh tetap menggunakan jilbab dan
bagi polwan muslimah lainnya yang berkeinginan memakai jilbab dapat menggunakan
jilbab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B.
Tutup
kepala
Semula tertulis: Jilbab warna coklat tua
Diubah menjadi: 1). Jilbab model tunggal polos atau tanpa
emblem;
2). Jilbab warna coklat tua polisi digunakan pada pakaian dinas
warna coklat dan PDL (Pakaian Dinas Lengkap)-II Loreng Brimob;
3). Jilbab warna abu-abu digunakan pada Pakaian Dinas Musik
Gabungan;
4). Jilbab warna hitam polos digunakan pada Pakaian Dinas selain
angka 2 dan 3 di atas;
5) Jilbab pada pakaian olahraga disesuaikan dengan warna celana
trainning, dan;
6) Bagi para staf reskrim, intelkam dan Peminal untuk warna jilbab
disesuaikan dengan warna celana.
C. Tutup badan
Semula tertulis: Polwan khusus Aceh menggunakan rok panjang
Diubah menjadi: Polwan berjilbab menggunakan celana panjang.
C.
Tutup
kaki
Semula tertulis: Polwan khusus Aceh menggunakan sepatu dinas
harian warna hitam
Diubah menjadi: 1). Sepatu dinas ankleboots warna hitam dengan
kaus kaki warna hitam digunakan pada pakaian dinas polwan;
2). Sepatu dinas ankleboots warna putih dengan kaus kaki warna
putih digunakan pada pakaian dinas musik gabungan;
3). Sepatu dinas lapangan warna hitam dengan kaus kaki hitam
digunakan pada PDP Danup-I. PDL-II Two Tone, PDL-11 Loreng Brimo, PDL-II Hitam
Brimob dan PD Misi PBB;
4). Sepatu dinas tunggang yang digunakan pada PDL-II Patwal Roda
Dua dan PD Joki;
5). Sepatu dinas safety shoes digunakan pada PD Nautika dan PD
Teknika.
Keputusan tersebut berdasarkan surat keputusan Kapolri Nomor:
Kep/245/II/2015 tanggal 25 Maret 2015 yang merupakan perubahan dari Skep
Kapolri No.POL:Skep/702/IX/2005 tentang Sebutan Penggunaa Pakaian Dinas Seragam
Polri dan PNS Polri.[13]
Dalam UUD Pasal 29 disebutkan, tentang diberikannya hak menjalankan
syari’at agama bagi warna negara Indonesia. Demikian halnya jilbab, adalah hak
setiap warna ntegara dalam melaksanakan ketentuan agama. Sebagaimana Surat
Keputusan yang telah dikeluarkan oleh pejabat kepolisian tentang perizinan
menggunakan jilbab bagi polisi wanita, maka kebijakan itu sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku, meskpun tetap harus mengikuti ketentuan yang
berlaku mengenai model jilbab yang ditetapkan.
Dalam aturan Pengguna, mulanya hanya polisi wanita dari Aceh yang
diperbolehkan mengenakan jilbab ketika dinas, tanpa catatan apapun. Kemudian
diubah menjadi diperbolehkannya mengenakan jilbab bagi polisi wanita yang ingin
menggunakannya, tidak diwajibkan maupun dianjurkan, dan memiliki catatan
ketentuan jilbab yang seperti apa untuk dipakai dinas oleh polisi wanita, guna
menertibkan dan menyeragamkan. Sebab tidak hanya berlaku pada satu wilayah
melainkan seluruh Indonesia.
Dalam aturan Tutup kepala,
sebelumnya hanya ditentukan warna jilbab, kemudian diubah menjadi adanya
ketentuan model seperti jilbab harus polos dengan warna-warna tertentu sesuai
warna celana, dan agenda-agenda tertentu yang disebutkan di atas. Cara
pemakaiannya pun ditentukan, yakni tidak dilabuhkan melainkan dimasukkan ke
dalam baju dinas sebagaimana yang sering kita lihat dari polisi wanita yang
berjilbab.
Dalam aturan Tutup badan semula menjelaskan bagi polisi wanita Aceh
menggunakan rok panjang, adalah karena dalam wilayah itu pemerintah Aceh
mewajibkan semua wanita secara keseluruhan, tidak hanya polisi wanita untuk
menggunakan rok panjang karena sebab-sebab tertentu. Namun, aturan penggunaan
rok panjang diubah menjadi celana panjang. Mungkin, karena peraturan pada
wilayah lain tidak seperti yang berlaku di Aceh, maka demi keprofesionalan
kerja yang membutuhkan fleksibelitas tinggi, maka semua polisi wanita yang
berjilbab diwajibkan menggunakan celana panjang.
Dalam aturan Tutup kaki, tertulis pada aturan sebelumnya dan
sesudahnya adalah persoalan warna sepatu dan kaus kaki, sesuai dengan
agenda-agenda tertentu.
Setelah mengetahui kesimpulan dari Surat Keputusan yang diterapkan
oleh pihak kepolisian, terlihat bagaimana mereka mengeluarkan kebijakan itu
dengan mengikuti Undang-undang dan peraturan agama yang berlaku. Kebijakan
mengizinkan memakai jilbab, memakai celana panjang, kaus kaki, bagi polisi
wanita Islam berarti telah membantu mereka menutup aurat meskipun sedang
menjalankan tugas negara. Tidak hanya melindungi aurat mereka, melainkan juga
mengembalikan identitas mereka sebagai polisi yang beragama Islam. Selain itu,
sebagian besar dari para polisi wanita itu mengakui adanya kenyamanan ketika
bekerja melayani masyarakat.
Memang, Al-Qur’an tidak pernah mempersoalkan mengenai warna jilbab
yang dipakai, namun menyebutkan beberapa bagian tubuh yang harus dilindungi
oleh jilbab, seperti dada. Dalam beberapa tafsir menyebutkan, yang ditutup
adalah bentuk tubuh, bukan warna kulit. Dengan demikian, jilbab yang dikenakan
oleh polisi wanita sebagaimana aturan pejabat kepolisisan belumlah sesuai
dengan aturan yang ada dalam Al-Qur’an. Hanya saja apabila kita melihat
tugas-tugas yang mereka lakoni sebagai pelayan publik, adalah tepat jika mereka
melaksanakan aturan-aturan dalam Surat keputusan itu dengan menggunakan celana
dan jilbab yang fleksibel dan tidak mengganggu kinerja mereka.
F.
Kesimpulan
Sedikit yang saya paparkan mengenai fenomena di atas, setidaknya
dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an sudah dengan jelas memerintahkan setiap
perempuan yang beragama Islam dan sudah baligh agar menutup auratnya dengan
hijab atau jilbab sehingga diketahui identitas mereka sebagai muslimah dan
mereka akan terlindungi olehnya. Dalam surat keputusan Kapolri mengenai
perijinan jilbab bagi polwan sudah mengikuti aturan-aturan al-Qur’an meskipun
ada beberapa catatan yang untungnya masih bisa ditoleransi. Setidaknya
kebijakan yang mereka tetapkan perlu diapresiasi karena menyangkut hak beragama
bagi masing-masing masyarakat sebagaimana peraturan yang ada di dalam UUD Pasal
29.
G.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Engkos
Kosasih, Farida Sarimaya, Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas
Peran Sosial Kaum Wanita, Pustaka Hidayah, 1997.
2.
Fatimah
Umar, Menggugat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim,
2001)
3.
Fadwal
El Guindi, Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, Jakarta
: Serambi Ilmu Semesta, 2003.
4.
M.
Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Ciputat: Lentera Hati,
2004)
5.
Imam
Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2004.
6.
Nani
Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta
: Timun Mas, 1955.
7.
Syaikh
ibn taimiyah dkk. Jilbab dan cadar dalam Al-Quran dan As-Sunnah, (jakarta:pedoman
ilmu jaya 1994)
8.
Husain
shahab, Jilbab menurut Al-Quran dan
sunnah, (Bandung: Mizan, 1995)
9.
Kementrian
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta : Lentera Abadi, 2010
10.
Nasarudin
Umar, Fikh Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010)
11.
Murtadha
Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan, 1995)
12.
m.tribunnews.com/nasional/2015/03/25/berikut-isi-peraturan-kapolri-soal-polwan-berjilbab
[1]Fadwa
el-Guindi, Veil: Modesty, Privacy and Resistance, diterj. Oleh
Mujiburohman dengan judul Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 29-30
[2]M. Quraish
Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Ciputat: Lentera Hati, 2004), h.
87-89
[3]Syaikh ibn
taimiyah dkk. Jilbab dan cadar dalam Al-Quran dan As-Sunnah, (jakarta:pedoman
ilmu jaya 1994), h.5
[4]Husain shahab, Jilbab menurut Al-Quran dan sunnah, (Bandung:
Mizan, 1995), h.18-19
[5]
Nasarudin Umar, Fikh Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2010), h. 28
[6]
Fatimah Umar, Menggugat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendikia Sentra
Muslim, 2001) h, 128
[7]
Nasarudin Umar, Fikh Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2010), h. 38
[8]
Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan,
1995) h, 31
[9]
NTN: Nomor Tartib Nuzul; MK: Makiyyah;
MD: Madaniyyah
[10]
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi,
2010) Jilid III, h. 385
[11]
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi,
2010) Jilid VI, h. 43
[12]
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi,
2010) Jilid VIII, h. 623-624
[13]
m.tribunnews.com/nasional/2015/03/25/berikut-isi-peraturan-kapolri-soal-polwan-berjilbab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar