Selasa, 07 Juli 2015



Memahami Hak Beragama
dan Kewajiban Berhijab dalam Aturan Seragam Polisi Wanita
Oleh : Hafidzah Hanifiah
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama pelindung. Terkhusus bagi makhluk-Nya yang berjenis perempuan. Dalam islam, perempuan muslimah memiliki kewajiban menutup aurat dengan batasan-batasan tertentu, dengan menggunakan kain atau selubung yang menutupinya atau biasa disebut dengan hijab. Dengan hijab, para perempuan muslimah dapat lebih dikenal identitasnya sebagai Muslimah serta terjaga dari gangguan laki-laki ajnabi yang jahil. Itulah busana terbaik yang wajib digunakan oleh Muslimah yang telah baligh. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an, lantas ditegaskan pula oleh Nabi saw dalam hadisnya.
Maka selayaknya, siapapun tidak berhak melarang perempuan Muslimah menjalankan syari’at agama yang satu ini. Mereka, para Muslimah itu berhak melakukan sesuatu yang sudah ditetapkan menjadi kewenangannya. Setiap makhluk, tanpa memandang jenis, harus diberlakukan hak-hak mereka, seperti hak beragama atau menjalankan syari’at agama secara total sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945.
Menyangkut hal ini, sempat terjadi benturan-benturan pendapat yang menunda perijinan mengenakan jilbab bagi polisi wanita. Alasannya, agar polwan bisa lebih berkompeten dalam berkerja tanpa harus mengenakan jilbab maupun busana muslimah pada seragam mereka. Namun, jika pemerintah tidak memberikan wewenang para polwan itu untuk menjalankan syari’at agama mereka, maka pemerintah telah melanggar UUD 1945 pasal 29, bahkan melanggar aturan yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadis.
B.     Definisi Hijab
Hijab Sebagai kata benda, kata ini digunakan untuk empat ungkapan, antara lain:
a.       Kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala dan kadang-kadang muka
b.      Rajutan panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita yang dipakai untuk memperindah atau melindungi kepala dan wajah
c.       1. Bagian utama kepala biarawati yang melingkari wajah terus kebawah sampai menutupi bahu 2. Kehidupan atau sumpah biarawati
d.      Secarik tekstil tipis yang digantung untuk memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang ada di baliknya (sebuah gorden).[1]
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang jilbab, berikut ayatnya:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Kata “jalabib” adalah bentuk jamak dari jilbab. Kata ini diperselisihkan maknanya oleh pakar-pakar bahasa, berikut akan dijelaskan mengenai hal ini:
Menurut penganut pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita tanpa terkecuali adalah aurat, kata jilbab adalah pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang sedang dipakai, sehingga jilbab menjadi bagaikan selimut. Dalam hal ini menurut pakar tafsir Ibn Jarir meriwayatkan bahwa muhammad ibn sirin bertanya kepada Abidah as-Salamani tentang maksud penggalan ayat itu lalu Abidah menjawab semacam selendang yang dipakai dan memakainya sambil menutup seluruh kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan menutupi wajahnya dan membuka mata kirinya untuk melihat dari arah sebelah kirinya. Selanjutnya menurut tafsir al-Baihaqy menyebut beberapa pendapat tentang makna hijab antara lain baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya atau semua pakaian yang menutupi badan wanita.[2]
Hijab adalah baju wanita yang berukuran panjang. Oleh ibn Mas’ud dan orang sejalan dengan pendapatnya menyebut pakaian itu sebagai ar rida’, mantel atau jubah. Oleh kaum awam pakaian itu disebut al-izar, yaitu jenis busana longgar yang menutup seluruh tubuh, dari ujung kepala sampai semua badan. Ubaidah dan sahabat lain mengatakan, bahwa jenis busana itu menjuntai dari ujung kepala wanita sehingga tidak ada bagian tang kelihatan, kecuali hanya bagian mata. Termasuk jenis busana penutup ini adalah kain penutup muka, (cadar). Dengan begitu kaum wanita harus mengenakan kain penutup jenis cadar. [3]
Hijab sesuai dengan makna harfiahnya adalah pemisah, dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita. Tanpa adanya pemisah ini, akan sukarlah mengendalikan luapan nafsu syahwat yang merupakan nalur yang sangat kuat dan dominan. Sedang jiwa manusia ini betul-betul mudah goyah dan berubah. Sebagaimana manusia tidak pernah merasa puas dengan harta dan kedudukan, demikian juga mereka tidak pernah puas dengan kelezatan pemuasan hawa nafsu. Laki-laki tidak akan puas memandang paras muka yang cantik dan molek. Wanita juga tidak akan puas memamerkan kecantikannya untuk menarik perhatian lelaki. Tak heran apabila pergaulan bebas dan propaganda seksual dibarat banyak melahirkan derita-penderitaan penyakit jiwa.[4]
Ayat-ayat jilbab dan hijab memnag berbicara dalam konteks budaya masyarakat setempat, yang penekanannya kepada persoalan etika, hukum, dan keamanan masyarakat di mana ayat itu diturunkan. Seperti diketahui bahwa ayat-ayat hijab, jilbab dan umumnya yang berbicara tentang kekhususan perempuan, turun antara tahun ketiga dan tahun hijriyah. Tahun-tahun itu adalah tahun kritis dalam komunitas masyarakat muslim Madinah. Baru saja terjadi tragedi perang uhud di mana kaum muslim menderita kelelahan berarti, lalu disusul dengan berbagai peperangan spodaris lainnya. situasi masyarakat Madinah berada dalam situasi tidak aman karena perang yang berkepanjangan. Meskipun demikian, tidak berarti penggunaan jilbab, cadar, atau semacamnya sudah dapat ditinggalkan manakala situasi sudah aman. Jilbab semacamnya tetap merupakan ajaran Islam yang perlu diindahkan, setidaknya jilbab akan menjadi ajaran etika dan estetika (tahsiniyyah).[5]
C.    Memahami Hak Beragama
Islam telah menetapkan kelayakan kaum perempuan untuk ibadah dan menunaikan berbagai kewajiban agama lainnya, ini dinyatakan secara jelas di dalam Al-Qur’an dan dipertegas oleh sunnah. Kaum perempuan memiliki kelayakan untuk menunaikan kewajiban agama, sebab syarat-syarat untuk menunaikan kewajiban agama dipenuhi oleh perempuan. Selain itu, perempuan juga memiliki tanggung jawab dalam menunaikan ibadah wajib dan pilihan (sunnah). Pahala dan dosa tak terkecualikan bagi perempuan di dalam Islam, dan lagi-lagi ada banyak nash-nash Al-Qur’an yang menyinggungnya. Bahkan status hukum perempuan dalam hal Hudud dan Qishash juga berlaku. Oleh sebabnya, perempuan berhak memiliki kewenangan menjalani syari’at agamanya.
Adapun hijab, termasuk hak etis bagi perempuan. Sebagian orang mukmin mungkin bertanya-tanya bagaimana mungki hijab yang diwajibkan agama dianggap sebagai hak etis bagi perempuan. Untuk sebagian orang hijab terlihat sebagai penindasan dan penganiayaan. Tetapi bagi mereka yang memahami kebijaksanaan Ilahi di balik itu, mereka akan mengerti mengapa hijab dianggap sebagai suatu hak etis. Dlaam Islam, seorang perempuan mengenakan hijab untuk melindungi dirinya dari sesuatu yang dapat mengancam kehormatan dan martabatnya, disamping adanya aturan-aturan lain seperti menundukkan pandangan; menjaga kesuian diri; menyembunyikan perhiasan, dan sebagainya.[6]
Nasarudin Umar dalam karyanya menceritakan tentang pemerintah Prancis kian tegas memproklamirkan diri sebagai negara sekuler dan menjunjung tinggi pluralisme, mengeluarkan larangan kepada masyarakatnya menggunakan simbol-simbol keagamaan–seperti jilbab bagi orang Islam dan peci bagi orang Yahudi–di tempat-tempat umum. Kebijakan ini diambil untuk menghindari konflik horisontal yang mengkhawatirkan akan terjadi akibat perbedaan simbol-simbol keagamaan yang dipertontonkan. Bahkan pemerintah tiak segan-segan mengeluarkan siswa dari sekolah jika tetap menggunakan jilbab. Tindakan itu tentu memancing reaksi keras dari agamawan. Peci dan jilbab bagi kedua agama tersebut tidak hanya sekedar pakaian, tapi bentuk kepatuhan mereka dalam menjalankan perintah ajaran agama.[7]
Salah satu yang menyebabkan lumpuhnya kekuatan perempuan dan yang memenjarakan bakat-bakatnya adalah tiadanya hijab. Dalam islam, hijab tidak mencegah perempuan untuk berpastisipasi dalam aktivitas-aktivitas kebudayaan, sosial atau ekonomi. Islam tidak pernah mengatakan bahwa perempuan tidak boleh meninggalkan rumahnya, dan tidak juga pernah mengatakan bahwa ia tidak boleh mencari ilmu dan belajar, tidak ada larangan terhadap kegiatan yang bersifat ekonomi, dan bersosialisasi.[8] Justru, yang melumpuhkan daya kerja adalah rusaknya moral perepuan ketika pergaulan bebas menjadi sebuah tabiat, dan aurat dengan bangganya dipertontonkan kepada siapa saja.
D.    Tafsir Ayat-ayat Hijab
v  Skema Ayat[9] :
NO
NTN
SURAT
AYAT
PENGGALAN AYAT
KET
1
39
AL-A’RAF
26
ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ...
MK
2
90
AL-AHZAB
59
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur ...
MD
3
103
AN-NUR
31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ...
MD

v  Tafsir Surat Al-A’raf: 26
ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä ôs% $uZø9tRr& ö/ä3øn=tæ $U$t7Ï9 ͺuqムöNä3Ï?ºuäöqy $W±Íur ( â¨$t7Ï9ur 3uqø)­G9$# y7Ï9ºsŒ ׎öyz 4 šÏ9ºsŒ ô`ÏB ÏM»tƒ#uä «!$# óOßg¯=yès9 tbr㍩.¤tƒ ÇËÏÈ  
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”
Pada ayat ini Allah SWT menyeru kepada anak cucu Adam dan memperingatkan nikmat yang begitu banyak yang telah dianugrahkan-Nya supaya mereka tidak melakukan maksiat, tetapi hendaklah mereka bertaqwa kepada-Ny, di mana mereka berada, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw. Dialah yang menurunkan hujan dari langit, menyebabkan adanya kapas, rami, wool, dan sebagainya yang kesemuanya itu dapat dijadikan bahan pakaian seusah diolah untuk dipakai menutupi aurat kita.[10]
v  Tafsir Surat Al-Ahzab: 59
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Allah memerintahkan Nabi-Nya supaya seluruh kaum muslimat terutama sitri-istri Nabi sendiri dan putra-putrinya agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Jilbab itu ialah jenis baju kurung yang lapang, yang dapat menutupi kepala, muka dan dada. Yang demikian itu supaya mereka mudah dikenal dengan pakaiannya, karena pakaiannya berbeda dengan jariyah-jariyah (budak-budak wanita), agar mereka tidak diganggu oleh orang yang menyalahgunakan kesempatan. Seorang perempuan yang berpakaian rapi dan sopan aka lebih mudah terhindar dari gangguan orang-orang yang jahil, dan perempuan-perempuan yang membuka auratnya di muka umum mudah dituduh atau dinilai sebagai wanita yang kurang baik kepribadiannya dan bagi orang di masa lampau yang kurang hati-hati tentang menutupi auratnya, lalu mengadakan perbaikan, maka Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Oleh karena perbuatan yang menyakiti itu seringkali dilakukan oleh orang-orang munafik.[11]
v  Tafsir An-Nur: 31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Ayat di atas turun di Madinah, pada ayat ini Allah SWT menyuruh Rasul-Nya untuk memperingatkan untuk wanita-wanita yang beriman supaya mereka itu jangan melihat yang tidak halal bagi mereka melihatnya seperti aurat laki-laki maupun perempuan yaitu antara pusar dan lutut bagi sesama laki-laki atau sesama perempuan. Tetapi hendaklah mereka membatasi penglihatan mereka dari laki-laki yang bukan mahramnya. Karena yang demikian itu adalah lebih baik dan lebih aman.
Di dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ketika Ummu Salamah dan Maimunah berada di sisi Rasulullah saw maka datanglah Abdullah bin Ummi Maktum dan masuk ke dalam rumah Rusulullah saw, pada waktu itu sudah ada perintah hijab. Rasulullah saw memerintahkan kepada Ummu Salamah dan Maimunah berlindung (berhijab) dari Abdullah bin Ummi Maktum. Berkata Ummu Salamah, “Wahai Rasulullah! Bukankah ia itu buta, tidak melihat kami dan tidak mengenal kami?” Rasulullah saw menjawab: “Apaakah engkau berdua buta? Apakah engkau berdua tidak meliaht dia?”
Juga hendaklah wanita-wanita itu menjaga kemaluan mereka jangan sampai berxina atau terlihat oleh orang lain. Dan janganlah wanita-wanita itu menampakkan perhiasan mereka kepada orang lain kecuali yang tidak dapat disembunyikan menurut adat-istiadat mereka seperti cincin, celak, inai, dan sebagainya. Berbeda dengan gelang tangan, gelang kaki, kalung, mahkota, selempang, anting-anting kesemuanya itu dilarang menampakkan karena terletak di anggota tubuh yang termasuk aurat wanita seperti lengan, betis, leher, kepala, dada dan telinga. Semuanya itu tidak halal dilihat melainkan oleh orang-orang yang dikecualikan menutur sebagaimana ayat di atas. Dan hendaklah ditutup kain kerudung hingga ke dada. Jangan ke belakang saja seperti halnya wanita-wanita di jaman jahiliyyah yang mana kepala mereka di tutup tetapi leher dan dada mereka terlihat.[12]
Adapun yang diperbolehkan melihat perhiasan perempuan yang berimana ialah :
1.      Suami mereka;
2.      Ayah mereka;
3.       Ayah suami mereka (Bapak mertua);
4.      Putra-putra mereka (anak laki-laki);
5.      Putra-putra suami mereka (anak laki-laki);
6.      Saudara-saudara mereka (kakak/ adik laki-laki);
7.      Putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki);
8.      Putra-putra saudara perempuan mereka (keponakan laki-laki);
9.      Perempuan-perempuan Islam;
10.  Budak-budak yang mereka miliki;
11.  Laki-laki yang tua dan tidak lagi memiliki nafsu syahwat;
12.  Anak laki-laki yang belum mengerti tentang aurat perempuan.
E.     Analisis Terhadap SK Kapolri Tentang Jilbab Bagi Polisi Wanita
Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti telah menandatangani aturan tentang jilbab Polisi Wanita yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kapolri Nomor: Kep/245/II/2015 tanggal 25 Maret 2015 tentang perubahan dari Skep Kapolri No.POL:Skep/702/IX/2005.
Sebelumnya, Skep/702/IX/2015 tanggal 30 September 2005 yang mengatur soal berjilbab hanya berlaku di Polda Aceh. Berikut isi gubahan Perkap Nomor:Kep/245/II/2005 tanggal 25 Maret 2015.
A.    Pengguna
Semula tertulis: Polwan khusus Aceh menggunakan jilbab.
Diubah menjadi: Bagi Polwan Aceh tetap menggunakan jilbab dan bagi polwan muslimah lainnya yang berkeinginan memakai jilbab dapat menggunakan jilbab sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B.     Tutup kepala
Semula tertulis: Jilbab warna coklat tua
Diubah menjadi: 1). Jilbab model tunggal polos atau tanpa emblem;
2). Jilbab warna coklat tua polisi digunakan pada pakaian dinas warna coklat dan PDL (Pakaian Dinas Lengkap)-II Loreng Brimob;
3). Jilbab warna abu-abu digunakan pada Pakaian Dinas Musik Gabungan;
4). Jilbab warna hitam polos digunakan pada Pakaian Dinas selain angka 2 dan 3 di atas;
5) Jilbab pada pakaian olahraga disesuaikan dengan warna celana trainning, dan;
6) Bagi para staf reskrim, intelkam dan Peminal untuk warna jilbab disesuaikan dengan warna celana.
C. Tutup badan
Semula tertulis: Polwan khusus Aceh menggunakan rok panjang
Diubah menjadi: Polwan berjilbab menggunakan celana panjang.
C.     Tutup kaki
Semula tertulis: Polwan khusus Aceh menggunakan sepatu dinas harian warna hitam
Diubah menjadi: 1). Sepatu dinas ankleboots warna hitam dengan kaus kaki warna hitam digunakan pada pakaian dinas polwan;
2). Sepatu dinas ankleboots warna putih dengan kaus kaki warna putih digunakan pada pakaian dinas musik gabungan;
3). Sepatu dinas lapangan warna hitam dengan kaus kaki hitam digunakan pada PDP Danup-I. PDL-II Two Tone, PDL-11 Loreng Brimo, PDL-II Hitam Brimob dan PD Misi PBB;
4). Sepatu dinas tunggang yang digunakan pada PDL-II Patwal Roda Dua dan PD Joki;
5). Sepatu dinas safety shoes digunakan pada PD Nautika dan PD Teknika.
Keputusan tersebut berdasarkan surat keputusan Kapolri Nomor: Kep/245/II/2015 tanggal 25 Maret 2015 yang merupakan perubahan dari Skep Kapolri No.POL:Skep/702/IX/2005 tentang Sebutan Penggunaa Pakaian Dinas Seragam Polri dan PNS Polri.[13]
Dalam UUD Pasal 29 disebutkan, tentang diberikannya hak menjalankan syari’at agama bagi warna negara Indonesia. Demikian halnya jilbab, adalah hak setiap warna ntegara dalam melaksanakan ketentuan agama. Sebagaimana Surat Keputusan yang telah dikeluarkan oleh pejabat kepolisian tentang perizinan menggunakan jilbab bagi polisi wanita, maka kebijakan itu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, meskpun tetap harus mengikuti ketentuan yang berlaku mengenai model jilbab yang ditetapkan.
Dalam aturan Pengguna, mulanya hanya polisi wanita dari Aceh yang diperbolehkan mengenakan jilbab ketika dinas, tanpa catatan apapun. Kemudian diubah menjadi diperbolehkannya mengenakan jilbab bagi polisi wanita yang ingin menggunakannya, tidak diwajibkan maupun dianjurkan, dan memiliki catatan ketentuan jilbab yang seperti apa untuk dipakai dinas oleh polisi wanita, guna menertibkan dan menyeragamkan. Sebab tidak hanya berlaku pada satu wilayah melainkan seluruh Indonesia.
 Dalam aturan Tutup kepala, sebelumnya hanya ditentukan warna jilbab, kemudian diubah menjadi adanya ketentuan model seperti jilbab harus polos dengan warna-warna tertentu sesuai warna celana, dan agenda-agenda tertentu yang disebutkan di atas. Cara pemakaiannya pun ditentukan, yakni tidak dilabuhkan melainkan dimasukkan ke dalam baju dinas sebagaimana yang sering kita lihat dari polisi wanita yang berjilbab.
Dalam aturan Tutup badan semula menjelaskan bagi polisi wanita Aceh menggunakan rok panjang, adalah karena dalam wilayah itu pemerintah Aceh mewajibkan semua wanita secara keseluruhan, tidak hanya polisi wanita untuk menggunakan rok panjang karena sebab-sebab tertentu. Namun, aturan penggunaan rok panjang diubah menjadi celana panjang. Mungkin, karena peraturan pada wilayah lain tidak seperti yang berlaku di Aceh, maka demi keprofesionalan kerja yang membutuhkan fleksibelitas tinggi, maka semua polisi wanita yang berjilbab diwajibkan menggunakan celana panjang.
Dalam aturan Tutup kaki, tertulis pada aturan sebelumnya dan sesudahnya adalah persoalan warna sepatu dan kaus kaki, sesuai dengan agenda-agenda tertentu.
Setelah mengetahui kesimpulan dari Surat Keputusan yang diterapkan oleh pihak kepolisian, terlihat bagaimana mereka mengeluarkan kebijakan itu dengan mengikuti Undang-undang dan peraturan agama yang berlaku. Kebijakan mengizinkan memakai jilbab, memakai celana panjang, kaus kaki, bagi polisi wanita Islam berarti telah membantu mereka menutup aurat meskipun sedang menjalankan tugas negara. Tidak hanya melindungi aurat mereka, melainkan juga mengembalikan identitas mereka sebagai polisi yang beragama Islam. Selain itu, sebagian besar dari para polisi wanita itu mengakui adanya kenyamanan ketika bekerja melayani masyarakat.
Memang, Al-Qur’an tidak pernah mempersoalkan mengenai warna jilbab yang dipakai, namun menyebutkan beberapa bagian tubuh yang harus dilindungi oleh jilbab, seperti dada. Dalam beberapa tafsir menyebutkan, yang ditutup adalah bentuk tubuh, bukan warna kulit. Dengan demikian, jilbab yang dikenakan oleh polisi wanita sebagaimana aturan pejabat kepolisisan belumlah sesuai dengan aturan yang ada dalam Al-Qur’an. Hanya saja apabila kita melihat tugas-tugas yang mereka lakoni sebagai pelayan publik, adalah tepat jika mereka melaksanakan aturan-aturan dalam Surat keputusan itu dengan menggunakan celana dan jilbab yang fleksibel dan tidak mengganggu kinerja mereka.
F.     Kesimpulan
Sedikit yang saya paparkan mengenai fenomena di atas, setidaknya dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an sudah dengan jelas memerintahkan setiap perempuan yang beragama Islam dan sudah baligh agar menutup auratnya dengan hijab atau jilbab sehingga diketahui identitas mereka sebagai muslimah dan mereka akan terlindungi olehnya. Dalam surat keputusan Kapolri mengenai perijinan jilbab bagi polwan sudah mengikuti aturan-aturan al-Qur’an meskipun ada beberapa catatan yang untungnya masih bisa ditoleransi. Setidaknya kebijakan yang mereka tetapkan perlu diapresiasi karena menyangkut hak beragama bagi masing-masing masyarakat sebagaimana peraturan yang ada di dalam UUD Pasal 29.

G.    DAFTAR PUSTAKA

1.      Engkos Kosasih, Farida Sarimaya, Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah Atas Peran Sosial Kaum Wanita, Pustaka Hidayah, 1997.
2.      Fatimah Umar, Menggugat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2001)
3.      Fadwal El Guindi, Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2003.
4.      M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Ciputat: Lentera Hati, 2004)
5.      Imam Zaki Al-Barudi, Tafsir Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2004.
6.      Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta : Timun Mas, 1955.
7.      Syaikh ibn taimiyah dkk. Jilbab dan cadar dalam Al-Quran dan As-Sunnah, (jakarta:pedoman ilmu jaya 1994)
8.      Husain shahab,  Jilbab menurut Al-Quran dan sunnah, (Bandung: Mizan, 1995)
9.      Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta : Lentera Abadi, 2010
10.  Nasarudin Umar, Fikh Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010)
11.  Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan, 1995)
12.  m.tribunnews.com/nasional/2015/03/25/berikut-isi-peraturan-kapolri-soal-polwan-berjilbab


[1]Fadwa el-Guindi, Veil: Modesty, Privacy and Resistance, diterj. Oleh Mujiburohman dengan judul Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 29-30
[2]M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Ciputat: Lentera Hati, 2004), h. 87-89
[3]Syaikh ibn taimiyah dkk. Jilbab dan cadar dalam Al-Quran dan As-Sunnah, (jakarta:pedoman ilmu jaya 1994), h.5
[4]Husain shahab,  Jilbab menurut Al-Quran dan sunnah, (Bandung: Mizan, 1995), h.18-19
[5] Nasarudin Umar, Fikh Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 28
[6] Fatimah Umar, Menggugat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendikia Sentra Muslim, 2001) h, 128
[7] Nasarudin Umar, Fikh Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 38
[8] Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan, 1995) h, 31
[9]  NTN: Nomor Tartib Nuzul; MK: Makiyyah; MD: Madaniyyah
[10] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010) Jilid III, h. 385
[11] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010) Jilid VI, h. 43
[12] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010) Jilid VIII, h. 623-624
[13] m.tribunnews.com/nasional/2015/03/25/berikut-isi-peraturan-kapolri-soal-polwan-berjilbab